MENGENAL KHAZANAH SASTRA DAERAH ACEH
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya maka penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Mengenal Khazanah Sastra Daerah Aceh”.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sastra Nusantara.
Dalam penyusunan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penyusun. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penyusun harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.Semarang, 08 Maret 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
B. Batasan Pengguna Bahasa Aceh
C. Sejarah Perkembangan Sastra Aceh
D. Jenis Karya-Karya Sastra Aceh
F. Tokoh-Tokoh Sastrawan Sastra Aceh
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia terdiri dari bermacam-macam suku bangsa yang masing-masing memiliki kesusastraan pada tiap daerahnya.kesusastraan merupakan bagian kebudayaan sehingga sastra daerah merupakan bagian yang penting dari kebudayaan Indonesia. Banyak kesusastraan Indonesia yang terlupakan terutama sastra daerah. Maka dalam makalah ini, akan dibahas mengenai sastra daerah terutama sastra Aceh.
Dewasa ini masyarakat Aceh sudah banyak yang kurang memerhatikan budaya yang telah ditinggalkan oleh para pendahulu. Hal ini dapat dilihat dari pemahaman masyarakat yang mulai, bahkan telah memudar. Baik dari segi budaya adat, maupun mengenai ragam sastra yang patutnya dipertahankan dan dilestarikan.
Perlunya pengkajian serta pembelajaran tentang sastra Aceh adalah agar kelestarian dan keunikan sastra tersebut tetap terjaga di zaman yang modern ini. Terlebih sastra Aceh kurang begitu populer dalam pengetahuan masyarakat umum daripada sastra Jawa dan sastra Sunda. Selain hal tersebut, sastra Aceh digunakan sebagai sarana pengungkap pikiran dan kehendaknya, sastra Aceh juga sebagai lambang identitas dan kebanggaan daerah tersebut. Kemudian dari sinilah penulis melakukan pengkajian tentang sastra daerah terutama pada daerah Nanggroe Aceh Darussalam dengan mengangkat judul “Mengenal Khazanah Sastra Daerah Aceh“.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu sastra Aceh?
2. Dimana saja batasan penggunaan bahasa Aceh?
3. Bagaimana sejarah perkembangannya?
4. Apa saja jenis sastra Aceh?
5. Apa keunikan sastra Aceh?
6. Siapa saja tokoh-tokoh sastrawan sastra Aceh?
C. Tujuan
1. Untuk menjelaskan apa itu sastra Aceh.
2. Untuk menjelaskan batasan wilayah penggunaan bahasa Aceh.
3. Untuk menjelaskan sejarah perkembangannya.
4. Untuk menjelaskan jenis-jenis sastra Aceh.
5. Untuk menjelaskan keunikan sastra Aceh.
6. Untuk menjelaskan siapa saja tokoh-tokoh sastra Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sastra Aceh
Sastra adalah pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia. (dan masyarakat) melalui bahasa sebagai medium dan memiliki efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan) (Esten, 1978 : 9).
Sastra Aceh merupakan pengungkapan hasil pemikiran seni kreatif dan imajinatif yang bersifat lisan serta tertulis dengan menggunakan bahasa Aceh sebagai mediumnya (Wildan, 2002).
B. Batasan Pengguna Bahasa Aceh
1. Wilayah dan Jumlah Pemakai
Berdasarkan administrasi pemerintah, Daerah Istimewa Aceh terdiri dari 10 buah daerah tingkat II itu, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Aceh Timur, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Tengah, Kabupaten Aceh Tenggara, Kotamadya Banda Aceh, dan Kotamadya Sabang (Hanafiah dan Makam, 1984: 3).
Dari jumlah daerah tingkat II itu, yang termasuk wilayah bahasa Aceh ialah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Aceh Barat, Kotamadya Banda Aceh, Kotamadya Sabang, sebagian besar Aceh Tenggara, dan sebagian Aceh Selatan. Sedangkan Aceh Tengah dan Tenggara masing-masing termasuk wilayah Gayo dan bahasa Alas. Sebagian kecil Aceh Timur adalah wilayah bahasa Tamiang dan sebagian Aceh Selatan termasuk wilayah bahasa Jamee, bahasa Singkil, dan bahasa Kluet. Demikian juga, Pulau Simeulu yang termasuk ke dalam wilayah Aceh Barat adalah bahasa Simeulu.Dengan demikian, sebagian besar Daerah Istimewa Aceh adalah daerah/ wilayah bahasa Aceh (Hanafiah dan Makam, 1984: 3).
2. Variasi Dialektis
Dalam bahasa Aceh terdapat juga variasi dialektis, tetapi variasi itu sangat kecil sehingga tidak mengganggu kelancaran dalam berkomunikasi antar penutur bahasa itu (Hanafiah dan Makam, 1984: 4).
Berdasarkan letak geografisnya dialek bahasa Aceh terdiri atas:
1) Dialek Aceh Besar,
2) Dialek Pidie,
3) Dialek Peusangan (Aceh Utara),
4) Dialek Pasai,
5) Dialek Aceh Timur,
6) DIalek Aceh Barat, dan
7) Dialek Daya.
Dialek Aceh Besar ditandai oleh Pengucapan [ a ] pada akhir kata yang diucapkan [e] dalam dialek itu.itupun terbatas pada beberapa buah kata seperti pada contoh di bawah ini:
saka [sake] ‘gula’
tika [tike] ‘tikar’
teuka [teuke] ‘datang’
Dialek Pidie ditandai dengan pengucapan bunyi /oi/ untuk bunyi /o/, sebagai berikut.
broh [broih] ‘sampah’
croh [croih] ‘menggoreng’
tikoh [tikoih] ‘tikus’
haloh [haloih] ‘halus’
khoh [khoih] ‘banapok’
utoh [utoih] ‘tukang’
A. Peran dan Kedudukan
1) Tempat dan Situasi Pemakaian
Dalam penggunaan sehari-hari bahasa Aceh dipakai dalam linghkungan keluarga dan masyarakat pada suasana tidak resmi. Dalam percakapan pada pertemuan arisan yang bersifat keluarga, upacara-upacara adat, dan rapat umum pada umumnya dipergunakan bahasa Aceh, kecuali di kota-kota. Di kota-kota dalam situasi itu kebanyakan mempergunakan bahasa Indonesia(Hanafiah dan Makam, 1984: 4).
Penggunaan bahasa Aceh yang agak menonjol ialah di pasar-pasar, baik di kota-kota besar maupun di pecan-pekan demikian juga di kantor pemerintah, baik pegawai maupun orang-orang yang berurusan ke kantor (Hanafiah dan Makam, 1984: 4-5).
Dalam berkomunikasi dengan orang yang baru dikenal, penggunaan bahasa aceh tergantung kepada situasi dan lawan berbicara. Kalau lawan berbicara memulai dengan bahasa Indonesia walaupun ia sebenarnya orang yang berbahasa ibu bahasa Aceh, bahasa yang diperhunakan adalah bahasa Indonesia (Hanafiah dan Makam, 1984: 5).
Di sekolah-sekolah, kecuali di kota-kota bahsa Aceh, masih dipergunakan sebagai bahasa pengantar di kelas I – III SD walaupun presentasenya sangat kecil, yaitu sekitar 5%, sedangkan bahasa Aceh sebagai alat pembantu terutama untuk pelajaran yang sukar masih juga dipergunakan sampai kelas VI SD yang berada di desa. Penggunaan bahasa Aceh di luar situasi belajar antar guru dan murid 50% (Hanafiah dan Makam, 1984: 5).
C. Sejarah Perkembangan Sastra Aceh
1. Sastra Aceh Zaman Kemerdekaan
Dua abad terlampaui, sastra Aceh terus berkembang dan hikayat terus lahir di mana-mana. Bentuk sastra modern yang berasal dari barat juga mulai menampakkan pengaruhnya dalam karya sastra di Aceh. Banyak sastrawan yang melahirkan karya tulisan. Lebih banyak dari abad sebelumnya. Namun tidak ada satu pun karya yang mendunia yang lahir pada saat zaman kemerdekaan. Ada beberapa sastrawan yang cukup dikenal di nusantara (Indonesia dan dunia melayu). Salah satu yang paling menonjol dan banyak berkarya dan berperan dalam membangkitkan sastra dan pendidikan di Aceh adalah A Hasjmy (Ezmar, 2012).
Puisi "Menyesal" karya A. Hasjmy masih dihafal dengan baik oleh anak-anak sekolah sampai ke pelosok Aceh. Dia tidak hanya berkarya, namun juga sangat aktif dalam mengumpulkan karya-karya sastra dan budaya yang ada di Aceh. Dia menulis buku "Aceh dalam Sejarah" dan mendirikan museum A Hasjmy. Apa yang dikumpulkannya sangat membantu bahan kajian sastra dan budaya yang dilakukan oleh para peneliti (Ezmar, 2012).
Berikut kutipan puisi “Menyesal” karya A Hasjmy :
Menyesal
Pagiku hilang sudah melayang,
Hari mudaku sudah pergi
Kini petang datang membayang
Batang usiaku sudah tinggi
Aku lalai di hari pagi
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu, miskin harta
Ah, apa guna kusesalkan
Menyesal tua tiada berguna
Hanya menambah luka sukma
Kepada yang muda kuharapkan
Atur barisan di hari pagi
Menuju arah padang bakti.
Para sastrawan Aceh yang menonjol pada zaman kemerdekaan antara lain TA Talsya, A Rivai Nasution, Agam Wispi, T. Iskandar, Tgk Adnan PMTOH, Mak Lapee dan lain-lain. Dua nama yang terakhir Tgk. Adnan PMTOH dan Mak Lapee adalah tokoh teater tutur. Tgk Adnan PMTOH, sang troubadour, menggabungkan kemampuannya berhikayat, monolog, musik dan teater. Ketika ia bertutur, orang sanggup duduk sampai pagi mendengarkan kisahnya. Cerita yang paling sering disajikannya adalah Hikayat Malem Dagang (Ezmar, 2012).
Angkatan saat ini cukup banyak. Karya yang dihasilkan tidak hanya sebatas hikayat dan syair, tetapi juga sudah mulai lahir novel, puisi modern, dan essai. Hanya saja pada masa ini, publikasi sangat lemah, sehingga karya-karya yang ada, walaupun banyak yang bagus, namun tidak dikenal luas. Angkatan setelah ini yang banyak berkarya dan dikenal, antara lain: Hasyim KS, Ibrahim Kadir, Nurdin AR, LK Ara, Maskirbi, Tjoet Sofyan, Syamsul Kahar, Barlian AW, Rosni Idham dan lain-lain. Karya-karya mereka juga sudah mulai dikenal di luar Aceh (Ezmar, 2012).
2. Sastra Aceh Masa Konflik
Sebelum konflik memuncak, potret tanah kelahiran dan nafas alam banyak terekam dalam karya-karya sastra yang ada. Ketika konflik memuncak, rekaman tangis, amarah, pemberontakan dan semangat mengalir dalam syair-syair ataupun karya-karya yang ada. Hikayat dan pengaruh hikayat masih terasa, namun karya-karya sastra modern lebih mendominasi (Ezmar, 2012).
Cerita-cerita hikayat juga banyak yang di-Indonesiakan. Hanya sangat sulit menerbitkan karya-karya yang ada. Sehingga karya-karya tersebut beredar dalam bentuk kopian ataupun beredar di kalangan terdekat saja. Ada beberapa lembaga kesenian, seperti Dewan Kesenian Aceh, Lembaga Adat dan Kebudayaan (LAKA) dan Lembaga Penulis Aceh (LAPENA) sempat mencetak dan menerbitkan beberapa karya (Ezmar, 2012).
Aktivitas sastra juga sangat variatif dan mulai sering diadaakan. Misalnya Pengadilan Puisi, Lomba Musikalisasi Puisi, Lomba Penulisan Puisi, Bedah Buku, dan seminar. Hanya sayang, tidak ada karya legendaris pada masa ini (Ezmar, 2012).
3. Sastra Aceh Pasca Tsunami dan Sekarang
Bencana tsunami pada 26 Desember 2004 tidak hanya menghancurkan Aceh, namun juga membawa pergi sejumlah besar aset budaya dan seniman di Aceh. Maskirbi, M Nurgani Asyik, Virsevenny, Siti Aisyah dan beberapa nama lain ikut hilang bersama ombak (Ezmar, 2012).
Begitu juga Pusat Informasi dan Dokumentasi Aceh (PDIA) yang menyimpan dokumen-dokumen sastra dan budaya, Kantor DKA dan LAKA ikut lenyap dibawa tsunami. Aceh dan Indonesia kehilangan banyak (Ezmar, 2012).
Namun, bencana ini juga membawa perubahan besar bagi perkembangan sastra di Aceh. Orang-orang mulai melirik dan ingin tahu lebih banyak tentang karya-karya sastra di Aceh. Apalagi setelah banyak dari karya-karya tersebut dipublikasikan. Penerbit lokal pun mulai bermunculan. Kehausan para penulis Aceh untuk menerbitkan karyanya, akhirnya terobati juga (Ezmar, 2012).
Penyair, budayawan dan sastrawan muda pun mulai bermunculan. Mereka punya gaya lebih berani dan bebas serta usianya berkisar antara 17-30 tahun. Keberadaannya juga dikenal sampai tingkat dunia. Ada Azhari, Reza, Fauzan, Salman Yoga, Cut Januarita. Sebenarnya mereka sudah mulai berkarya di awal tahun 2000-an (Ezmar, 2012).
Mereka tidak hanya berkarya, tetapi juga menerbitkan karya-karya sastra lokal dalam bentuk buku dan memotivasi calon-calon penulis muda dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dan aneka lomba.
D. Jenis Karya-Karya Sastra Aceh
Menurut Razali Cut Lani, dikenal beberapa jenis sastra klasik Aceh yaitu: Narit Maja (peribahasa), Neurajah (mantra), Hadih Maja (peribahasa aceh), Hiem (teka-teki), Panton (pantun), Ca’e (Syair), dan prosa liris. Semua genre sastra tersebut merupakan jenis sastra tertua dan purba dalam sejarah perkembangan sastra Aceh (Hermansyah, 2010).
1. Narit Maja (Peribahasa)
Tradisi masyarakat Aceh Narit Maja berfungsi sebagai pengendalian pranata sosial (kontrol sosial) dan sebagai sarana penyampaian pesan moral.Narit Maja juga mengandung nilai-nilai pendidikan Islam. Seperti terdapat dalam Narit Maja berikut: Hana patot aneuk murid lawan gure/ nyo kon seude teunte gila. Terjemahan bebasnya adalah tidak patut seorang murid melawan gurunya, kalau tidak tentu gila. Demikianlah peribahasa Aceh sarat dengan nilai-nilai keagamaan (Hermansyah, 2010).
Untuk lebih jelas mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Narit Maja, ada beberapa contoh berikut:
Misalnya terdapat dalam Narit Maja dalam bidang berdagang, seperti berikut:
Tulak tong tinggai tem.
Arti bebasnya: dorong tong, tinggal kaleng.
Peribahasa ini mengandung pengertian bahwa dalam usaha dagang–jual beli–setelah diperkirakan laba rugi dalam hal ini tidak ada yang diuntungkan, tetapi hanya mencukupi modal saja (Hermansyah, 2010: 2).
Narit Maja dalam bidang kriminalitas, seperti berikut:
gop pajoh boh panah/ tanyo yang meugeutah.
Terjemahan bebasnya: orang yang makan nangka, kita yang bergetah. Orang lain yang berbuat salah kita yang mendapat efek dari kriminalitas tersebut (Hermansyah, 2010).
2. Neurajah (Mantra)
Neurajah merupakan jenis sastra tertua setelah Narit Maja. Jika ada orang yang bertanya siapakah pemilik puisi jenis mantra ini, Maka jawabannya adalah pawanglah yang menjadi penyair genre mantra, karena pada mulanya pawang mengucapkan mantra-mantra untuk menjinakkan harimau, gajah, tawon, dan lain-lain (Hermansyah, 2010).
Contohnya :
Ka
ek u langeet kah ku peugandoe
(naik ke langit aku ketapel)
Katroek di bumoe kah ku singkla
(turun ke bumi aku ikat)
Bak gaki kah ku boeh pasong
(di kakimu aku pasang pasung)
Bang idoeng gunci tembaga
(pada hidungmu aku kunci dengan tembaga)
Di hadapan raja diwa hong saidi
3. Hiem (Teka – Teki)
Masyarakat Aceh dalam keseharian sering kumpul bersama sanak keluarga dan kerabat untuk berteka – teki sejenak. Teka – teki dalam masyarakat Aceh selain sebagai hiburan juga menjadi arena asah otak, karena dalam teka – teki juga mengandung unsur pendidikan. Walaupun unsur humor lebih dominan (Hermansyah, 2010).
Contohnya :
Saboeh bubee
Jab jih tujoh
Ungkoet hantom roeh
Siumu donya
Artinya : sebuah bubu memiliki tujuh tingkatan, akan tetapi tidak pernah mendapatkan ikan sepanjang masa. Jawabannya adalah ureung hana sembahyang (orang yang pernah mengerjakan shalat).
4. Hadih Maja (Peribahasa Aceh)
Seperti halnya karya sastra lain, Sastra Aceh juga memiliki peribahasa untuk mengandaikan atau mengkiaskan suatu keadaan (Hanafiah dan Makam, 1984: 6).
Contohnya :
Meuseureuk bak aleue jai (Terperosok pada lantai yang rapat)
Lagee laumo rot situek (Seperti lembu memakan api pinang)
5. Panton (Pantun)
Bagian selanjutnya dari sastra lisan Aceh adalah pantun. Puisi empat baris yang terdiri atas sampiran dan isi. Baris pertama dan kedua disebut sampiran. Baris ke empat dan lima namanya isi. Panton Aceh dan pantun Indonesia memiliki ciri-ciri sama. Bersajak ab, ab. Sama halnya dengan narit maja, neurajah, dan hiem yang sebenarnya juga terdapat dalam konteks ke-Indonesia-an sastra. Ini ada salah satu contoh pantun dalam corak sastra ke-Aceh-an. Pantun perjuangan untuk meraih dan menaklukkan hati wanita idaman (Hermansyah, 2010).
Contoh pantun:
limong limong kapai jitamong
dua go limong kapai jibungka
nyo hantrok lon cot ngon reunong
nyan bungong lon pupo geulawa
Arti bebas pantun tersebut adalah lima lima kapal masuk, dua kali lima kapal berangkat, kalau tak bisa saya ambil pakai galah, ini bunga akan saya lempar supaya jatuh kepelukan saya.
Dari segi umur pemakai terdapat bermacam jenis pantun seperti pantun anak-anak, pantun remaja, dan pantun dewasa.Berdasarkan manfaat dan kondisi pemakaian dikenal pantun nasehat, pantun jenaka, dan pantun kawla muda (Hermansyah, 2010).
6. Ca’e atau syair
Ca’e atau syair sebenarnya juga termasuk kedalam prosa liris. Akan tetapi karena penggunaannya terdapat dalam syair tari saman, kemudian dibedakan. Syair yang ditemukan pun tidak banyak, karena tidak bersifat tetap (kecuali rengum). Dimana syair maupun iramanya berubah-ubah menurut tempat, waktu dan situasi pertunjukan. Sehingga tidak ada syair yang baku untuk tari saman (Pusaka 2 Aceh, 2008).
Tema Syair pada tarian saman pada mula pertamanya adalah tentang dakwah atau ajaran agama. Pada perkembangan selanjutnya tema tersebut bertambah dengan tema-tema lainnya seperti tentang pertanian, pembangunan, adat istiadat, muda-mudi dan lain-lain (Pusaka 2 Aceh, 2008). Contoh :
Rengum/ Dering
Hmm laila la aho
Hmm laila la aho
Hoya-hoya, sarre e hala lem hahalla
Lahoya hele lem hehelle le enyan-enyan
Ho lam an laho
Artinya :
Hmm tiada Tuhan selain Allah
Hmm tiada Tuhan selain Allah
Begitulah-begitulah semua kaum Bapak begitu pula kaum ibu
Nah itulah-itulah
Tiada Tuhan selain Allah
7. Prosa liris
Sementara itu dalam ikon genre prosa lama di Aceh dikenal dengan prosa liris (hikayat), legenda, fabel, haba jameun (cerita rakyat/kabar zaman) (Hermansyah, 2010).
a. Hikayat
Adalah jenis prosa lama walaupun ada juga pakar sastra yang menyatakan bahwa hikayat itu jenis puisi liris, karena tipografinya seperti syair dan bersajak (Hermansyah, 2010).
Jika dilihat dari unsur intrinsiknya hikayat lebih cocok disebut prosa. Mengingat dalam hikayat lebih dominan ditunjang oleh setting (latar), tokoh, watak (karakter), konfliks dll. Umumnya hikayat bersifat istanasentris, dan cerita raja-raja. Namun ciri utama hikayat adalah anonim (tidak memiliki nama pengarang) seperti umumnya sastra lama lainnya. Ada juga beberapa hikayat yang memiliki nama pengarang seperti hikayat Perang Sabil karya Teungku Syiek Pantee Kulu. Di Aceh sarat akan hikayat warisan indatu misalnya : hikayat Raja-Raja Pasai, dan hikayat Malem Diwa (Hermansyah, 2010).
b. Legenda
Adalah jenis cerita turun temurun bercerita tentang asal usul suatu geografis (asal nama daerah, asal mula sebuah pulau dan sebagainya). Contoh: Legenda Ahmad Rhangmanyang yang menjadi Pulau Batu di Aceh Besar atau legenda Raja Bakoi (di Aceh Utara), puteri Pukes, Loyang Koro, Pengantin Atu Belah (di dataran Tinggi Gayo, Takengon), dan legenda Tapak Tuan (di Aceh Selatan) (Hermansyah, 2010).
c. Haba Jameun (cerita rakyat)
Adalah kabar zaman yang diriwatkan dari mulut ke mulut. Secara turun temurun. Jika ada cerita rakyat yang terkumpul dalam sebuah buku itu bukanlah milik penghimpun. Melainkan milik semua masyarakat di mana cerita rakyat tersebut berkembang. Sebagai penghargaan kepada penghimpun cerita ini disebut sebagai penyusun atau editor buku tersebut. Seperti kumpulan Kabar Zaman Dari Aceh karya LK.Ara. Cerita rakyat yang terkumpul dalam buku tersebut adalah milik masyarakat Aceh.Tetapi LK.Ara sangat berjasa dengan menerjemahkan cerita rakyat Aceh ke dalam Bahasa Indonesia (Hermansyah, 2010).
Haba jameun biasanya selalu diawali dengan pembukaan seperti berikut ini:
bak jameun dile, na sibak bak jambe di leun. Trep nibak trep broek rumoh tinggai sudep, na saboh kisah, .......
Artinya: pada zaman dahulu ada sebatang pohon jambu di depan rumah. Lama kelamaan rusak rumah tinggal panggang, ada sebuah kisah ........ (Hermansyah, 2010).
d. Dodaidi
Dodaidi adalah tradisi lisan pengantar tidur yang sering dinyanyikan oleh ibu kepada anaknya dalam buaian atau di ayunan. Dalam hal ini dodaidi yang merupakan salah satu karyasastra lisan di Indonesia tentu mengandung kearifan lokal pula. Dodaidi secara tersurat berisi kearifan berupa keinginan seorang ibu kepada anaknya untuk cepat besar (tumbuh dengan baik) dan nasihat ibu untuk berjuang mempertahankan negeri (berjihad). Secara tersirat berisi kearifan lokal berupa nasihat orangtua, serta secara terpendam berisi kearifan lokal berupa keyakinan tentang setiap aspek masyarakat Aceh dilandaskan dariajaran Islam dan segala perbuatan manusia adalah demi mencari ridha Allah (Hermansyah, 2010).
Dalam hal ini Dodaidi yang merupakan salah satu karya sastra lisan di Indonesia tentu mengandung informasi tersendiri. Informasi tersebut mungkin saja berupa ajaran-ajaran baik yang kita sebut sebagai kearifan lokal (Hermansyah, 2010).
Adapun transkripsi dan transliterasi yang akan dianalisis adalah tiga bait lirik dodaidi yang cukup mudah ditemukan dan diulang oleh beberapa masyarakat. Lirik tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Doh doda idang
(Doh doda idang‘)
(2) Seulayang blang ka putoh taloe
(Selayang sawah tali sudah putus)
(3) Bagah rayeuk banta seudang
(Cepatlah besar banta seudang)
(4) Yak meuprang musoh nanggroe
(Ayo perangilah musuh negeri)
(5) Do doda idi
(Dododa idi)
(6) Seulayang blah ka putoh taloe
(Selayang sawah tali sudah putus)
(7) Beurijang rayeuk banta seudang
(Bergegaslah besar banta seudang)
(8) Jak tulong prang musoh nanggroe
(Tolonglah perangilah musuh negeri)
(9) Doda aneuk lon
(Doda anakku)
(10) Meuputa-puta dalam ayon
(Berputar-putar dalam ayunan)
(11) Kapét laju hai aneuk bagah
(Tutuplah mata hai anak, cepat)
(12) Peudöng agama Allah ka binasa
(Dirikan agama Allah yang sudah binasa)
E. Keunikan Sastra Aceh
Keunikan sastra Aceh terletak pada jenis sastranya, dimana sastra Aceh lebih banyak tertuang pada sastra lisan dibanding dengan sastra tulisnya. Hal itu terbukti dengan masih banyaknya sastra lisan yang dilestarikan. Sejarah sastra Aceh pun menunjukkan bahwa sastra lisan lebih berkembang daripada sastra tulisnya. Kemudian corak sastra Aceh juga banyak dipengaruhi oleh Islam, sehingga Aceh dikenal sebagai satu-satunya daerah di Nusantara yang aksentuasi keislamannya paling menonjol (Rusmana, 2011).
Hal tersebut dibuktikan pula dari sastra lisan Ca’e atau sya’ir yang digunakan dalam tari Saman maupun tari Seudati. Kedua seni tari tersebut menggunakan syair yang bernafaskan dengan mengangungkan Tuhan dan mengesakan-Nya (Pusaka 2 Aceh, 2008).
Dengan adanya sastra Aceh, tentu akan mendukung pertumbuhan serta keberagaman sastra Indonesia. Juga dalam kebahasaan Indonesia bahasa Aceh yang digunakan dalam Sastra Aceh turut serta memperkaya bahasa Indonesia. Dalam keadaan tertentu, bahasa Aceh dapat juga berfungsi sebagai pelengkap bahasa Indonesia di dalam penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat daerah (Wildan, 2010).
Keberagaman sastra di seluruh nusantara tentunya dapat digunakan sebagai bahan ajar dalam sebuah institusi maupun lembaga-lembaga. Tujuannya agar generasi sekarang juga dapat mempelajari karya sastra yang berkembang di daerah tertentu sehingga pengetahuan akan sastra daerah, seperti sastra Aceh ini diharapkan dapat menambah wawasan mereka.
F. Tokoh-Tokoh Sastrawan Sastra Aceh
1. Hamzah Fanshuri (1575-1625). Seorang penyair sufi yang karya-karyanya jauh melampaui zamannya, sehingga dianggap sesat oleh mereka-mereka yang menafsirkannya secara berbeda. Sehingga banyak karya-karyanya yang dibakar atas perintah Nurrudin Arraniry, pemuka agama pada masa itu. Salah satu kitab yang ditulisnya "Syarab al-asyiqin" atau "Minuman segala orang yang berahi"(Ezmar, 2012).
2. Tgk Syekh Abdurrauf al Singkili atau lebih dikenal dengan Tgk Syiah Kuala (yang namanya kemudian dijadikan nama universitas negeri di Aceh) juga banyak menuliskan kitab-kitab pendidikan dan agama yang berisikan syair-syair ma’rifat (Ezmar, 2012:4).
3. Tgk Chik Pante Kulu, juga seorang ulama besar. Dia menuliskan Hikayat Prang Sabil. Hikayat ini cukup dikenal dan merakyat dalam bentuk tutur. Kekuatan kata-katanya mampu menggerakkan orang Aceh untuk mati syahid melawan kaphe Belanda (Ezmar, 2012:4).
4. Tgk. Mansoer Leupueng, dan beberapa sastrawan lainnya. Mereka termasuk angkatan yang telah banyak berbuat dalam menyelamatkan kesusastraan Aceh di saat-saat mengalami kemunduran. Terutama sekali Tgk.Mansoer Leupueng, ia banyak sekali menulis buku-buku cerita dalam bahasa Aceh, baik dalam bentuk prosa maupun dalam bentuk sajak Aceh. Salah satu karyanya yang populer ketika itu adalah novel Sanggamara (menolak bahaya). Novel ini ditulis Tgk. Mansoer untuk mengembalikan jiwa sastra pada pemuda-pemuda Aceh yang saat itu dirasakan hampir lenyap, seperti dalam bait berikut: //Tameututo ngen bahsa droe/ Bahsa nanggroe nyang biasa/ Bahasa laen pih tapakoe/Beuhat rugoe bak beurkata// (Ezmar, 2012:4).
Para sastrawan legendaris ini semuanya memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi dan menguasai beberapa bahasa.Mereka juga berasal dari kalangan keluarga yang berpendidikan dan semuanya laki-laki.Pada masa ini, tidak ditemukan karya sastra yang ditulis perempuan (kalaupun ada, belum terekspos) (Ezmar, 2012).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sastra Aceh adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa Aceh sebagai mediumnya, yang tercipta dari keadaan sosial serta kehidupan masyarakatnya. Jumlah sastra lisan yang berkembang lebih banyak daripada sastra tulisnya. Jenis sastra lisan yang berkembang antara lain : Ca’e (sya’ir), Narit maja (peribahasa), Neurajah (mantra), Hiem (teka-teki), Hadih maja (peribahasa Aceh), dan Panton (pantun).
Perkembangan sastra Aceh dimulai dari zaman kemerdekaan yang melahirkan hikayat-hikayat dan sya’ir. Serta muncul novel, puisi, dan essai namun publikasinya masih kurang. Selanjutnya pada masa konflik, syair-sya’ir yang berisi pemberontakan dan semangat berperang bermunculan. Kemudian pada masa pasca Tsunami hingga sekarang sastra yang berkembang bertambah dan terpublikasi dengan baik. Sastrawan yang ada pada zaman kerajaan adalah Hamzah Fanshuri, Tgk.Abdurrauf Al Singkili (Tgk. Syiah Kuala), Tgk. Chik Pante Kulu, Tgk. Mansoer Leupeung.
LAMPIRAN
A. Soal
1. Manakah yang bukan termasuk jenis sastra Aceh...
A. Narit Maja
B. Hiem
C. Sake
D. Ca’e
E. Neurajah
2. Jenis sastra Aceh yang paling tua adalah...
A. Panton
B. Ca’e
C. Neurajah
D. Hiem
E. Narit Maja
3. Yang merupakan Narit Maja dalam bidang berdagang adalah...
A. Gop pajoh boh panah
B. Tulak tong tinggai tem
C. Tanyo yang meugeutah
D. Hana patot aneuk murid lawan gure
E. Nyo kon seude teunte gila
4. Nyanyian oleh ibu kepada anaknya dalam buaian atau ayunan disebut...
A. Dodaiki
B. Didodadi
C. Dodaibi
D. Dodaidi
E. Dodidai
5. Yang bukan merupakan sastrawan Aceh pada zaman kerajaan adalah...
A. Tgk. Chik Al-Asyiqin
B. Tgk. Syekh Abdurrauf Al-Singkili
C. Tgk. Mansoer Leupueng
D. Tgk. Chik Pante Kulu
E. Hamzah Fanshuri
B. Kunci jawaban
1. C. Sake
2. E. Narit Maja
3. B. Tulak tong tinggai tem
4. D. Dodaidi
5. A. Tgk. Chik Al-Asyiqin
DAFTAR PUSTAKA
Ekstensia, Fbs. 2013. “Sastra Aceh", (Online),(http://fbsekstensia.blogspot.co.id/2013/06/sastra-betawi.html, diakses pada 08 Maret 2018)
Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan : Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung : Angkasa
Ezmar, El. 2012. “Sastra Aceh”, (Online),
(https://ezmarkumbang.wordpress.com/2012/01/25/sastra-aceh/, diakses pada 13 Maret 2018)
Hanafiah, M. Adnan dan Makam, Ibrahim. Struktur Bahasa Aceh. 1984.
Jakarta :Pusat Pembinaan danPengembangan Bahasa Pendidikan dan Kebudayaa Pendidikan dan Kebudayaan.
Hermansyah. 2010. “Sastra Klasik Indatu Orang Aceh”, (Online),
(http://www.hermankhan.com/2010/06/sastra-klasik-indatu-orang-aceh.html , diakses pada 10 Mei 2018)
Pusaka 2 Aceh. 2008. “Syair Tari Saman”, (Online),
(https://pusaka2aceh.wordpress.com/2008/01/30/syair-tari-saman/, diakses pada 17 Mei 2018)
Rusmana, Dadan. 2011. “Sastra Muslim dan Budaya”, (Online),
(https://dadanrusmana.wordpress.com/2011/11/15/syams-al-din-sumatrani/, diakses pada 17 Mei 2018)
Wildan. 2010. Kaidah Bahasa Aceh. Banda Aceh : Global Educational Consultant Institute.
Wildan. 2002. Tata Bahasa Aceh untuk Madrasah Dasar dan Madrasah Lanjutan. Cet. III. Banda Aceh: Global Educational Consultant Institute.